Selalu merinding dan nangis, ketika pamit untuk pergi agak jauh, lalu bapak berpesan:
“Take care, bapak titipkan penjagaanmu ke Allah.”
‘Fii amanillah‘ bukan barang baru sebetulnya. Sejak SMP, ketika belajar bahasa Arab, kami diajarkan untuk mengucapkan fii amanillah ketika berpisah dengan orang lain. Tapi memang dasarnya orang Indonesia, beberapa kata atau bahkan doa dalam bahasa Arab yang maknanya sangaaaat dalam, justru tidak bisa tersampaikan jika tidak terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa ibu. Belum cukup, kata atau doa berbahsa Arab itu belum juga akan membuat hati bergetar jika tidak ada momentum yang tepat.
Maka, terhadap doa fii amanillah ini, saya pribadi baru merasakan getarannya pertama kali saat sekolah di kota yang berbeda. Pamit, untuk pergi dan tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama. Saat itulah bapak berpesan, “Take care. Bapak titipkan penjagaanmu ke Allah.”.
Untuk saya yang saat itu sudah SMA, “menitipkan penjagaan” adalah hal baru. Belum pernah sebelumnya otak saya menerima kata-kata itu, dan lantas memprosesnya. Kenapa harus menitipkan? Penjagaan? Apakah sepenting itu untuk disampaikan?
Dari pesan bapak itu, saya jadi sadar bahwa bagi orangtua, saya adalah amanah besar yang harus dijaga. Tindak tanduk saya adalah tanggung jawab mereka. Maka saat saya terlampau jauh jaraknya, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah. Menyerahkan (kembali) penjagaan saya kepada Allah. Karena atas apapun yang terjadi pada saya ketika saya pergi, mereka tidak berdaya.
Dari pesan bapak itu, saya untuk pertama kalinya merasakan ketidakberdayaan orangtua, ketidakberdayaan orang yang ditinggalkan, ketidaberdayaan manusia.
Kadang, bagi orang yang bepergian, safar itu tidak lebih dari perpisahan sementara. Menyongsong perjalanan baru yang menggairahkan dengan rentetan agenda untuk diselesaikan. Pergi kerja, pergi sekolah, atau sekadar pergi liburan. Safar adalah keluar dari zona nyaman, untuk berkenalan dengan zona baru yang penuh pembelajaran.
Tapi bagi mereka yang ditinggalkan, setiap detik perpisahan itu adalah harapan, agar si kesayangan baik-baik saja di tanah orang. Setiap detiknya menuntut untuk mendapatkan kepastian, bahwa urusan mereka lancar, terjamin makanan dan kesehatan, selamat di perjalanan, dan berbagai kekhawatiran lain akibat lepas dari penjagaan.
Betul, fii amanillah adalah pesan yang sangat indah, sangat dalam, sangat hangat, dan penuh dengan harapan serta kepasrahan.
Rasanya, ketika berpisah tidak cukup dengan pesan untuk hati-hati dan jaga diri. Pesan fii amanillah akan menyempurnakan cinta kita pada mereka yang pergi.
ps.
Setelah berpisah untuk studi di luar kota, menyusul momen-momen lain yang mengharuskan saya untuk pergi, meninggalkan rumah. Dan pesan bapak, tidak pernah sekalipun tidak menusuk hati saya hingga sekarang.