Fii Amanillah

@islamandlife on twitter

Selalu merinding dan nangis, ketika pamit untuk pergi agak jauh, lalu bapak berpesan:

Take care, bapak titipkan penjagaanmu ke Allah.”

Fii amanillah‘ bukan barang baru sebetulnya. Sejak SMP, ketika belajar bahasa Arab, kami diajarkan untuk mengucapkan fii amanillah ketika berpisah dengan orang lain. Tapi memang dasarnya orang Indonesia, beberapa kata atau bahkan doa dalam bahasa Arab yang maknanya sangaaaat dalam, justru tidak bisa tersampaikan jika tidak terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa ibu. Belum cukup, kata atau doa berbahsa Arab itu belum juga akan membuat hati bergetar jika tidak ada momentum yang tepat.

Maka, terhadap doa fii amanillah ini, saya pribadi baru merasakan getarannya pertama kali saat sekolah di kota yang berbeda. Pamit, untuk pergi dan tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama. Saat itulah bapak berpesan, “Take care. Bapak titipkan penjagaanmu ke Allah.”.

Untuk saya yang saat itu sudah SMA, “menitipkan penjagaan” adalah hal baru. Belum pernah sebelumnya otak saya menerima kata-kata itu, dan lantas memprosesnya. Kenapa harus menitipkan? Penjagaan? Apakah sepenting itu untuk disampaikan?

Dari pesan bapak itu, saya jadi sadar bahwa bagi orangtua, saya adalah amanah besar yang harus dijaga. Tindak tanduk saya adalah tanggung jawab mereka. Maka saat saya terlampau jauh jaraknya, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah. Menyerahkan (kembali) penjagaan saya kepada Allah. Karena atas apapun yang terjadi pada saya ketika saya pergi, mereka tidak berdaya.

Dari pesan bapak itu, saya untuk pertama kalinya merasakan ketidakberdayaan orangtua, ketidakberdayaan orang yang ditinggalkan, ketidaberdayaan manusia.

Kadang, bagi orang yang bepergian, safar itu tidak lebih dari perpisahan sementara. Menyongsong perjalanan baru yang menggairahkan dengan rentetan agenda untuk diselesaikan. Pergi kerja, pergi sekolah, atau sekadar pergi liburan. Safar adalah keluar dari zona nyaman, untuk berkenalan dengan zona baru yang penuh pembelajaran.

Tapi bagi mereka yang ditinggalkan, setiap detik perpisahan itu adalah harapan, agar si kesayangan baik-baik saja di tanah orang. Setiap detiknya menuntut untuk mendapatkan kepastian, bahwa urusan mereka lancar, terjamin makanan dan kesehatan, selamat di perjalanan, dan berbagai kekhawatiran lain akibat lepas dari penjagaan.

Betul, fii amanillah adalah pesan yang sangat indah, sangat dalam, sangat hangat, dan penuh dengan harapan serta kepasrahan.

Rasanya, ketika berpisah tidak cukup dengan pesan untuk hati-hati dan jaga diri. Pesan fii amanillah akan menyempurnakan cinta kita pada mereka yang pergi.

ps.

Setelah berpisah untuk studi di luar kota, menyusul momen-momen lain yang mengharuskan saya untuk pergi, meninggalkan rumah. Dan pesan bapak, tidak pernah sekalipun tidak menusuk hati saya hingga sekarang.

5 Doa Menjemput Jodoh

Sebelum membaca artikel ini, perlu kita yakini bersama bahwa:

  • Seperti takdir-takdir yang lain, jodoh juga merupakan rahasia Allah. Hak prerogatif Dia mau ngaturnya gimana.
  • Allah sudah menggariskan jodoh untuk kita (sudah tertulis di lauh mahfuz). Jadi, sekeras apapun kita meminta dan berusaha, ya Allah sudah mengantongi nama yang siapapun itu, kapan pun itu, pasti adalah yang terbaik buat kita.
  • Kita nggak bisa mendikte jodoh impian kita ke Allah. Kalau ternyata maunya kita itu beda sama maunya Allah, ya apa boleh buat. Kita tidak berhak untuk kecewa, karena nanti, kita akan dibuat sadar, kenapa Allah menjodohkan kita dengan dia.

Lah terus, buat apa kita berdoa minta jodoh yang begini begitu? Buat apa kita berusaha nyari jodoh yang begini begitu?

Ya, lagi-lagi seperti halnya perkara-perkara yg lain, apa yg kita lakukan untuk menjemput jodoh sebetulnya ‘hanya’ untuk menyempurnakan ikhtiar kita saja. Malu euy sama Allah kalau kita nggak ada usaha apa-apa. Toh juga kalau kita masih hamba, kita akan selalu butuh bimbingan dan pertolongan-Nya. Makanya, perlu juga kita melakukan usaha memantaskan diri (untuk Allah) dan berdoa.

Ini adalah beberapa doa yang bisa menjadi doa untuk memohon jodoh (dan keturunan) terbaik, karena nggak ada doa khususnya deh untuk minta jodoh atau dipercepat biar dapet jodoh:


  1. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

    Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina ‘adzabannar

    Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka.” (QS. al-Baqarah : 201)

  2. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

    Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun, waj’alna lilmuttaqina imamaa

    “Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqon: 74)

  3. رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

    Rabbi Habli min ladunka dzurriyyatan thayyibatan innaka sami’ud du’a

    “Wahai Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar Doa”
    . (QS. Ali Imran: 38)

  4. رَبِّ إِنِّيْ لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

    Rabbi innii limaa anzalta ilayya min khoirin faqiir

    “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”
    (QS. Al Qashas: 24)

  5. رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

    Rabbij ‘alni muqimash shalah wa min dzurriyyati wa taqabbal du’a

    “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.
    ” (QS. Ibrahim: 40)

  6. رَبِّ لَا تَذَرْنِى فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْوَٰرِثِينَ

    Rabbi lā tażarnī fardaw wa anta khairul-wāriṡīn

    “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.””
    (QS. Al Anbiya: 89)

  7. اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْألُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ ، وَالعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ . اللَّهُمَّ اِجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِليَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِي ، وَمِنَ المَاءِ البَارِدِ

    Allahumma inni as-aluka hubbak, wa hubba mayyuhibbuk, wal ‘amala alladzi yuballighunii hubbak. Allahummaj’al hubbaka ahabba ilayya min nafsii wa ahlii wa minal maa-il baarid

    “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk selalu cinta kepada-Mu, mencintai orang yang selalu mencintai-Mu, dana mal yang dapat menyampaikanku untuk mencintai-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta kepada-Mu melebihi cintaku terhadap diriku sendiri, keluarga, dan air yang dingin).”
    (HR. Tirmidzi)

Selebihnya, silakan minta apapun ke Allah dengan bahasa masing-masing. Mau ‘request’ yang seperti apa, inginnya bagaimana, dll.

Kalau saya, yang tidak pernah luput dari untaian doa adalah permintaan untuk:

“Jika menurut-Mu (dia) baik untukku, maka dekatkan dan permudah jalannya. Jika menurut-Mu (dia) tidak baik untukku, maka jauhkan dan sabarkanlah aku.”

Sebetulnya itu versi singkat dari doa istikhoroh sih, dan rasanya permohonan itu sangat sangat menguatkan saya. Powerful sekali. Memang gitu ya? Kalau sudah menyandarkan semua pilihan pada Allah, ya udah jadi nothing to lose aja. Nggak ada beban. Kalau pergi ya berarti bukan jodoh, kalau jodoh ya nanti juga akan ditunjukkan jalannya. As simple as that.

Bismillah, semoga Allah mudahkan jalan teman-teman untuk menjemput jodoh terbaik. Selamat ikhtiar dengan maksimal! ❤

p.s.

Dari doa yang banyak itu, yang rutin saya panjatkan sebelum nikah ‘hanya’ doa sapu jagad, doa istikhoroh, dan doa qurrota ayun. Doa lainnya baru saya kenal pasca nikah, dari mas suami hehe. Konon, dia rajin baca doa-doa itu sejak sebelum nikah 😀

Birrul Walidain

Beberapa hari ini, secara ‘kebetulan’, topik mengenai birrul walidain kerap muncul di hadapan saya, baik dari mimbar masjid, maupun dari timeline medsos. Seakan mengingatkan saya untuk memanfaatkan waktu dengan rajin berbakti pada orangtua. Ladang pahala buat kita nabung sebanyak-banyaknya, pintu surga yang paling tengah, amalan yang dinilai sebagai jihad, dan berbagai keutamaan lain.

“Mumpung masih ada,” begitu kata orang-orang.

Tapi sayangnya, seperti yang juga sudah ditegaskan berulang kali oleh orang-orang, bahwa birrul walidain bukan perkara yang mudah.

Orangtua tuh kadang serumit itu untuk dipatuhi kata-kata dan perintahnya. Kadang semenguji kesabaran itu hingga kita sebagai anak harus sekuat tenaga menahan keluh dan kata kasar, sehingga tidak menyakiti hati mereka.

“No wonder why Allah told us about ‘Birrul Walidain’ million times in Quran… it’s really tiring and frustrating. So freaking much.” (@lilaccountz on twt)

Maka, kita kudu waro’ bahwa punya orangtua yang nggak neko-neko tuh ternyata sebuah kenikmatan yang luaarrr biasa! Nikmat yang harus disyukuri setiap hari, setiap waktu.

Orangtua yang kelakukan dan ucapannya nggak bikin mental, yang bisa nrimo, nggak demanding, bisa menghargai pendapat anaknya, bisa memahami keputusan anaknya, supportive, nggak pemarah, nggak sering cekcok satu sama lain, bisa ngasih teladan baik, bisa jadi madrasatul ula kita, dan lain-lain.

Alhamdulillaah, yang barusan itu saya mendeskripsikan orangtua saya sendiri, di mata saya.

Saya tuh acapkali lihat orang tua random yang kelakuannya bikin saya prihatin. Tiap begitu, dalam hati saya tuh bersyukuuur banget: ‘untung orangtua saya nggak begitu’. Saya pingin makasih banyak-banyak ke mereka karena nggak aneh-aneh kelakukannya, baik secara umum maupun ke keluarga. Kalo mikir begini tuh suka pingin nangis. Allah kayak baik banget udah menakdirkan saya punya orangtua kayak mereka.

Apa yang bisa saya lakukan untuk membalas? Untuk berterima kasih sama orangtua dan sama Allah? Ya, birrul walidain itu.

Beberapa teman saya pernah sambil bercanda gitu bilang, semacam ‘ih, enak ya punya anak kayak kamu, manutan,’ ‘masya Allah banget birrul walidain mu,’ hanya karena saya cerita kalau beberapa pilihan hidup saya itu karena permintaan dari orangtua. Plis ya, mohon maap itu komentar yang berlebihan banget (lol). Di luar dari cerita yang saya bagi ke mereka, saya juga tampaknya masih jauh banget kalau dicap sebagai anak berbakti.

Saya juga belum bisa yang manuuut mulu, yang ngayem-yemiiii mulu. Masih sering bikin orangtua capek, sering kurang peka, nyakitin hati pakai kata atau perbuatan, belum bisa ngasih ini itu, belum hafal quran, terus juga bukannya bantu nyelesaiin masalah tapi malah suka nambahin pikiran mereka. Haduh, emang susah ya jadi anak berbakti yang kayak idaman orangtua gitu tuh.

Makanya, kalau ada orang yang komen atau mikir bahwa saya sudah birrul walidain banget, saya suka mbatin, ‘aamiin semoga’. Tapi kok ya rasanya masih jauh. Terlebih, ketika saya mengingat betapa luar biasanya orangtua saya. Nggak pernah bikin saya sedih, menyesal, dan kecewa jadi anak mereka. Buat saya itu luar biasa.

Jadi, saya menganggap kalau ‘manut’ tuh ya the least I can do untuk membalas segala kebaikan mereka. Dari sebelum saya lahir, sampai saya udah segede ini. Jelas, nggak akan setimpal, tapi ya… namanya juga usaha.

Jujur, komentar “disuruh orangtua, Din?” atau “nggak dibolehin orangtua ya?” itu kadang bikin saya ngerasa, sebagai individu, saya nggak punya keinginan yang perlu diperjuangkan kah? Kok kayaknya iya, manutan bener sama jalan yang sudah dipilihkan sama orangtua. Kok kayaknya kalo orangtua bilang buat nggak melakukan A, saya ya ngikutin aja. Apa saya nggak punya mimpi saya sendiri ya? Tidak jarang sih, apa yang orang-orang sering gaungkan soal kebebasan individu, ‘it’s your life, not your parent’s’ cukup menggelitik saya untuk membangkang.

Tentu, ada beberapa waktu saya nggak setuju sama orang tua, dan sebaliknya, orangtua saya juga nggak setuju dengan saya. Kami diskusi dan (sialnya), memang kebanyakan di waktu-waktu itu tuh orangtua saya punya alasan yang logis. Kenapa saya kalau bisa nyoba loker ini dan itu, kenapa saya nggak perlu ikutan kegiatan abcd, dan lain-lain. And to be fair, saya nerima itu. Jadi ya begitulah, akhirnya saya ‘ngalah’ lagi, manut lagi. Kalau ditanya pingin atau enggak, ya nggak pingin, tapi nggak ada ruginya buat nyoba.

Bismillah ayo niatke birrul walidain, bismillah.”

Itu yang sering saya tanamkan dalam hati, ketika harus sedikit melawan ego untuk mematuhi orangtua.

Padahal pas mikir lagi, sebenernya mematuhi orangtua (saya) tuh nggak sesusah itu, dan saya juga nggak masalah kok dengan itu. Dengan orangtua yang beberapa kali mendikte jalan hidup saya. Toh permintaan orangtua juga nggak ekstrem-ekstrem amat dan masih masuk akal. Bahkan boleh jadi plan mereka lebih baik daripada plan saya. Mereka request sesuatu juga pasti kan pakai mikir dulu.

Saya merasa orangtua saya sudah cukup considerate dengan permintaannya, dan saya sangat mengapresiasi dan menghormati itu dengan cara: manut.

Makanya, kalau ada kesempatan dan kemampuan saya bisa nurutin kemauan orangtua, saya akan coba lakukan. Cuma ini seminimal-minimalnya yang bisa saya lakukan buat mereka berdua yang sudah jadi orangtua terbaik buat saya!

Allahummaghfirli wa liwalidayya warhamhuma kama robbayani soghiro.

Lebih Enak Memaafkan

Habis disakitin emang susah banget buat langsung memaafkan. Biasanya natural response nya akan kesel dan meluapkan kekesalan itu, baik secara langsung atau tidak langsung ke orangnya (dipendem, curhat, dsb). Pasti. Seberapapun kita mampu menahan, kekesalan itu pasti ada. Ya, tinggal jangka waktunya aja, apakah sebentar atau harus berlama-lama bersarang di hati kita.

Merutuk, menyumpah, juga merupakan pelampiasan atas kekesalan akibat disakiti. Tapi, “mendoakan biar dia kena azab dan merencanakan balas dendam” is just too much. Serem, jujur wkwk. Rada kaget karena postingannya rame dan banyak yang setuju. Aku cuma yang kayak, “Wow? Dunia luas banget ya? Sampe aku nggak nyangka ada banyak orang yang mikir begitu?”.

Gusti Allah dan Kanjeng Nabi juga sudah mengingatkan, kalau memaafkan memang bukan hal yang mudah. Maka dari itu, diganjar dengan berbagai kemuliaan.

Emang nggak masuk di akal sih kalo ngeliat gimana hatinya Kanjeng Nabi kok bisa bersih banget? Iya maksum sih, but still, tidak ada kebencian, bahkan terhadap orang-orang yang berbuat jahat (BANGET!) terhadap beliau tuh?? Bro, he aint human broo.

Di titik ini, rasanya bersyukur baanget kalo bisa jadi orang yang pandai memaafkan, pandai mengikhlaskan, tidak menyimpan dendam. Karena nggak banyak yang sanggup. Apalagi kalau ditimpa dengan musibah yang besar, pasti nggak gampang buat nggak dendam. Ditipu? Diselingkuhin? Bahkan ‘cuma’ diremehkan atau dapet hate comment aja pasti berbekas luka. Nggak terima. Benci. “Awas ya, liat aja habis ini.”

Wah, angel angel. Tapi aku percaya sih, if there’s a will, there’s a way. Yang penting kita punya keinginan untuk jadi seorang pemaaf dulu. Itu dulu aja. Kalau udah punya keinginan itu, insya Allah dimudahkan jalannya untuk betul-betul jadi pemaaf. Latihan, berdoa sama Gusti Allah supaya dikasih hati yang lapang, maaf yang ringan. Bukan sebaliknya, merasa keren dan edgy karena ikut arus mainstream: tidak ada kata maaf. Duh, jjinja?

Sempet baca beberapa qrt di postingan itu yang membuat hatiku cukup lega. Ada yang tidak sependapat rupanya.

Ada yang bilang, alih-alih mendoakan supaya si orang yang menyakiti kita terkena azab, lebih baik mendoakan kebaikan. Karena doa orang yang terzalimi termasuk doa yang diijabah kan? Doalah untuk kebaikan dia, supaya dia lekas sadar dan diampuni atas dosanya. Atau minimaal banget ya mendoakan buat kebaikan diri sendiri.

Terus juga ada yang komen, kalau dia justru merasa sebaliknya. Dia merasa terpuruk dan sedih ketika yang dia lakukan adalah merutuk, sumpah serapah, dan menyimpan dendam. Betapa hati nggak akan tenang jika diliputi sekian besar kebencian. Justru ketenangan dan kedamaian hati itu didapatkan ketika memilih untuk berbesar hati dan memaafkan.

Bener juga. Kayak… kasian banget hidupnya dihabiskan untuk memikirkan langkah pembalasan dendam. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun diliputi rasa benci terhadap orang yang sama. Nggak enak banget rasanya. Tapi lagi-lagi, kayaknya banyak juga ya orang yang justru merasa bahagia dan lega atas sikapnya yang pendendam, dan anti memaafkan.

Memaafkan jelas bukan hal yang mudah. Jelas. Tapi kita semua bisa perlahan belajar untuk move on. Selamat belajar buat menjadi orang yang pemaaf dan sabar. Semoga sukses. Tolong doakan yang nulis ini juga ya, biar nggak lama-lama buat sembuh dari sakit hatinya.

Lagu (Plesetan) Masa Kecil

Karena saya nggak yakin apakah sepuluh tahun lagi (kalau masih hidup) saya masih ingat lagu-lagu ini, jadi saya coba tulis sekarang. Ini aja udah rada lupa-lupa wah, bahaya.

Kepiting cina oek oek. Diberi nama sarjana muda. Widodo widodo widodo widodo.

Pak Camat jualan tomat. Yang beli harus hormat. Pak Camat pakai kaca mata. Ibu-ibu jatuh cinta. Jatuh cinta jatuh cinta.

Bintang ditendang masuk ke ruang sidang. Menurut undang-undang, PKB menang. Gusdur gembira. Amien Rais kecewa. Megawati tertawa. Hahahahahahaha.

Bintang ditendang masuk ke kolam renang. Lihat cewek telanjang, matanya panjang. (Gak tau lanjutannya)

Aku anak setan. Tubuhku bau menyan. Karena ibuku ratu siluman. (Gak tau lanjutannya)

Lordo bocah bodo. Plonga plongo koyo kebo. Kancane sinau lha kok koe malah turu. Yo ben aku bodo ning awakku malah lemu. Lemu ginak-ginuk ora koyo awakmu. Yo ben aku kuru ora mergo kurang mangan. Sinau wulangan ben dadi cah jempolan. Jempolan.

Berjalan di tepi pantai. Ketabrak mobil ambulan. Tangan diperban, kaki diperban. Nggak bisa jalan. Hidupku kan damai di kuburan. Malam jumat aku keluyuran. Pak Haji membacakan Al Quran. Aku kepanasan.

(Lupa depannya) Lurih jalannya maju ju. Jual minyak wangi ngi. Ngitung duit seperak rak. Rakus makanan babi bi. Bintang beribu-ribu bu. Bulan hanya satu tu. Tulis di buku bobo bo. Botak kepala ali li.

Lihat kebun kutu. Penuh dengan buaya. Ada yang meringis. Dan ada yang merongos. Setiap harimau. Kusiram semut merah. Mawar melatikus. Semuanya indomi.

Bapak pegang tongkat, ibu pegang sapu. Bapak naik pangkat, ibu jadi guru. Naik kapal kecil, takut goyang-goyang. Naik kapal besar, tidak punya uang. Nenek jual gethuk, tinggal sepithuk. Nenek manthuk-manthuk, umbelnya keluar-masuk. Srot srot.

Bang bang tut jendelo uwo uwo
Sopo wani ngentut ditembak rojo tuwo
Tuwo tuwo kendi (lupa)

Jantung paru-paru tenggorokan (usus)
Nana mlayu-mlayu ra katokan (kasus)

Belajar dari Catur

Saya main catur sejak SD, dan saya suka banget sama olahraga ini. Suka doang ya, jago mah enggak. Udah lama banget juga nggak main.

Dulu pas SD sering banget diajak main sama ibuk dan adik-adiknya (om-om saya). Pernah ikut lomba catur juga pas tujubelasan RW, udah lupa menang atau enggak. Kayaknya sih kalah, soalnya lawannya pas itu bapak-bapak.

Bahkan pernah randomly ngefans sama pecatur cilik, namanya Masruri (barusan banget googling, ternyata orangnya seumuran sama saya dan masih sering juara, wow!). Ngefans karena emang pas SD lagi suka-sukanya sama catur.

Terus ada momen yang saya masih inget banget. Sebelum berangkat sekolah di suatu pagi, pas TV lagi nyetel Liputan6 Pagi SCTV dengan presenternya saat itu adalah Bayu Sutiyono, muncul lah liputan berita kemenangan Masruri di situ dan ada sesi wawancaranya juga.

Sekeluarga, terutama si ibuk, amazed sama sosok Masruri yang masih kecil tapi udah keren. Orangnya sederhana pula. Ya udah, habis itu kalo main catur jadi kayak Masruri this Masruri that wkwkwk.

Setelah SD kayaknya nggak pernah main lagi. Ingetngnya cuma pas SMA ikut lomba catur antarkelas (kalah), terus pas KKN main catur lewat HP (saking kekurangan hiburan karena gak ada internet). Tahun ini cuma pernah main sekali sama anak kantor.

Tapi tetep, gara-gara main catur, saya jadi mikir. Permainan ini menarik banget dan bukankah seharusnya kita bisa mengaplikasikan konsep catur dalam kehidupan kita?

Kita bisa belajar bertindak layaknya bermain bidak.

Apa yang saya pelajari dari catur?

  • Catur itu game taktikal yang membutuhkan strategi. Ada yang suka menyusun strategi jangka panjang, ada juga yang jangka pendek doang. Ada yang sejak awal permainan dimulai sudah memutuskan gerakan sampai sekian puluh langkah ke depan. Ada yang baru bisa nyusun strategi setelah melihat gerakan lawan.
  • Setiap step betul-betul diprediksi, diperhitungkan, dan dipikirkan matang-matang. Kalau aku gerak ke sini apa yang terjadi? Kalau aku nggak gerakin ini dia bakal ngapain? Aku harus ke mana abis ini biar bisa skakmat? Dalam catur, tidak pernah ada langkah yang asal.
  • Karena semua langkah (dan kemungkinan langkah lawan) sudah dipikirkan matang-matang, itu bikin kita jadi nggak terlalu kaget dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Kalaupun gagal, ya biasa aja, karena memang sudah tau risikonya. Kalau ada bidak catur yang dimakan pun kita bisa lebih mudah memahami dan akhirnya merelakan. Predictable.
  • Harus ada yang dikorbankan kalau mau menang. Dengan catatan, segala pengorbanannya harus didasari dengan perhitungan. Main aman tanpa mengorbankan satupun pion rasanya nggak mungkin bisa membuat perubahan atau kemajuan.
  • Nggak bisa mundur. Kalo deadlock ya deadlock. Kalah ya kalah. Langkah yang udah diambil ya harus dipertanggungjawabkan. Seberapa pun kacaunya permainan kita, gamenya akan terus berjalan maju.
  • Harus punya plan B. Kalau udah nyusun strategi sedemikian rupa, eh ternyata tebakan-tebakan kita keliru. Yang terjadi bukan seperti yang kita prediksi, harus langsung memikirkan langkah lain. Susun strategi baru, kacau lagi, susun baru lagi. Begitu seterusnya.
  • As long as belum skakmat (dan deuce) kita masih punya harapan buat menang. Seberapapun bidak kita yang udah kemakan, seberapapun rencana kita yang udah digagalkan. Fokusnya bukan ke belakang, tapi ke depan.
  • Selalu waspada dan kritis terhadap segala langkah yang dilakukan oleh lawan (alias curigaan dan suuzon sih hehe). Ini dia kok melangkah ke sini? Mau ngincer ini ya? Ah, nggak mungkin cuma gerakin itu, pasti ada rencana lain ya?
  • Taktik mengalihkan perhatian dan ngulur-ngulur waktu seru juga. Jadi, kalau lawan dirasa mau melakukan hal yang membahayakan, kita bisa menghindar dari bahaya itu secara langsung atau kita juga bisa menghindar secara tidak langsung dengan menciptakan bahaya baru. Supaya fokus lawan teralihkan. Ya gitulah pokoknya.

Semua poin itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau saya sih paling suka sama konsep permainan catur yang predictable dan well-planned, tapi selalu aware kalau-kalau rencananya bubar. Keren dah.

Sekian.

Disclaimer: I’m not professional, nggak pernah tau dan belum pernah belajar soal teori dan strategi percaturan, belum nonton Queen’s Gambit juga. Cuma bisa main buat seru-seruan. Jadi ini poin-poin yang saya rasakan ketika saya main sama orang-orang di sekitar saya aja, bukan ngomongin permainan profesional.

Up ↑